Jumat, 08 Juni 2012

BAB VIII PENGELUARAN KONSUMSI MASYARAKAT


BAB VIII
PENGELUARAN KONSUMSI MASYARAKAT
Prilaku konsumsi masyarakat
            Pertumbuhan konsumsi masyaraka Indonesia rata-rata 6,5% petahun selam masa dasawarsa 1970 an. Angka ini sama 1% lebih rendah dari pertumbuhan rata-rata pengeluaran konsumsi masyarakat Malaysia untuk kurun waktu yang sama. Akan tetapi lebih tinggi dari india dan RRC, masing-masing 2,9 dan 4,9%; bahaka juga dibandingkan pertumbuhan konsumsi masyarakat AS (3,1%) dan jepang 4,7%. Dalam periode 1980-1993 pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia 4,4%pertahun lebih rendah dari cina dan Malaysia namun lebih tinggi dari AS dan jepang. Angka-angka ini beralasan untuk menjelaskan bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki kemandirian yang cukup untuk menumbuhkan perekonomiannya.
Pola konsumsi masyarakat
            Pola konsumsi dapat dikenali berdasarkan alokasi penggunaanya. Pengeluaran rata-rata perkapita orang Indonesia sebesar Rp.43.565,00 setiap bulan pada tahun 1993, menurut harga yang berlaku. Diantaranya sebesar Rp.24.772,00 atau 56,86% merupakan pengeluaran konsumsi makanan. Bersrti lebih dari separuh habis untuk makan, termasuk minum dan merokok. Pengeluarahn rata-rata masyarakat kota dua kali lebih besar dari masyarakat desa. Alokasi penggunaannya juga sangat berbeda, pengeluaran rata-rata penduduk desa tiap bulan hanya Rp.33.385,00 perkapita, sebesar Rp.21.228,00 atau 63,,585 untuk makanan. Sedangkan masyarakat kota Rp 64.063,00, yang digunakan untuk makan rata-rata hanya Rp 31.908,00 atau 49,81%. Orang desa dan orang kota tidak hanya berbeda dalah hal besar pengeluaran, tap juga dalam pola konsumsi. Angka-angka perbandingan ini, sekali lagi, mengesahkan adanya ketimpanagan tingkat kemakmuran antara penduduk desa dan kota.
Dimensi ketimpangan pengeluaran konsumsi
Melalui perbandingan-perandingan perilaku dan pola konsumsi masyarakat, telah disingkap adanya kesenjangan antara masyarakat perdesaan dan masyarakat perkotaan. Pengeluaran konsumsi masyarakat dapat pula difungsikan untuk mendeteksi ketimpangan kemakmuran antar lapisan masyarakat, sebab sebagaimana diketahui kesenjangan kemakmuran dapat diukur baik dengan pendekatan pendapatan maupun pendekatan pengeluaran.
Dengan mengelompokan distribusi pengeluaran masyarakat ke dalam persepuluhan atau desil (decile) dapat diketahui ketimpangan pengeluaran penduduk. Selanjutnya, bisa pula dihitung indeks atau rasio gini masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan sebagai satu totalitas.
Disamping, berdimensi spasial atau antar daerah yakni antara daerah perdesaan dan daerah perkotaan, perbedaan atau ketimpangan pengeluaran konsumsi masyarakat juga terjadi dalam dimensi antar lapisan pengeluaran itu sendiri. Terdapat pula diskrepansi pengeluaran konsumsi yang berdimensi regional atau antar wilayah, yakni antara propinsi yang satu dan propinsi lain di tanah air
Pola konsumsi masyarakat berbeda antarlapisan pengeluaran. Terdapat kecenderungan umum bahwa semakin rendah kelas pengeluaran masyarakat semakin dominan alokasi belanjanya untuk pangan. Di lain pihak, kian tinggi kelas pengeluarannya kian tinggi besar pula proporsi belanjanya untuk konsumsi bukan makanan. Jenis makanan yang dikonsumsi juga berbeda. Semakin rendah kelas pengeluaran, cenderung semakin dominan jenis padi-padian umbi-umbian yang dikonsumsi.
Dalam kelompok pengeluaran untuk non-makanan, terjadi gejala sebaliknya. Semakin tinggi pengeluarannya semakin besar proporsinya secara umum, dan secara spesifik untuk berbagai Janis pengeluaran non-makanan tertentu.
- banyaknya intensitas/kebutuhan konsumen
masyarakat kota cenderung memiliki lebih banyak keinginan untuk dipenuhi dibanding masy. desa
Tabungan Masyarakat
Tabungan adalah bagian dari pendapatan dapat dibelanjakan (disposable income) yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Ini merupakan tabungan masyarakat. Tabungan pemerintah adalah selisih positif antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin. Kedua macam tabungan ini membentuk tabungan nasional, merupakan sumber dana investasi.
Kendati pada dasarnya semua sisa pendapatan yang tidak dikonsumsi adalah tabungan, namun tidak seluruhnya merupakan tabungan sebagaimana yang dikonsepsikan dalam makro ekonomi. Hanya bagian yang dititipkan pada lembaga perbankan sajalah yang dapat dinyatakan sebagai tabungan, karena secara makro dapat disalurkan sebagai dana investasi. Sisa pendapatan tidak dikonsumsi yang disimpan sendiri (istilah umumnya celengan) tidak tergolong sebagai tabungan.
Perkiraan jumlah tabungan masyarakat Indonesia memang tidak ditaksir melalui cara sebagaimana diusulkan tadi. Biro Pusat Statistik menaksirnya melalui selisih antara tabungan nasional dan tabungan pemerintah. Yang terakhir ini relative lebih gampang dihitung mengingat catatan administratifnya cukup tersedia. Angka tabungan nasional sendiri merupakan hasil penaksiran pula, yaitu PDB dikurangi Nilai Konsumsi Akhir Sektor Rumah Tangga dan Sektor Pemerintah, ditambah Pendapatan Netto Faktor Produksi terhadap Luar Negeri. Jadi, karena kesulitan teknis penafsiran, metodologi perhitungannya dibalik. Bukannya tabungan masyarakat ditambah tabungan pemerintah menghasilkan tabungan nasional, melainkan tabungan nasional dikurangi tabungan pemerintah menghasilkan tabungan masyarakat. Kepraktisan metodologis semacam ini tentu saja merupakan kelemahannya.
Tabungan masyarakat bersama-sama tabungan pemerintah dan dana dari luar negeri merupakan sumber pembiayaan investasi. Dalam rangka menggalakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, tabungan masyarakat senantiasa diupayakan untuk terus meningkat.
Fungsi Konsumsi Dan Fungsi Tabungan
Dalam teori makro ekonomidikenal berbagai variasi model fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat lazim digunakan dalam perhitungan-perhitungan makro ekonomi, yaitu fungsi konsumsi Keynesian. John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding lurus dengan) tingkat pendapatannya. James S. Duesenberry mengusulkan model lain. Berkaitan dengan hipotesisnya tentangpendapatan relative, ia berpendapat tingkat pendapatan yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat bukan tingkat pendapatan efektif, maksudnya pendapatan rutin yang secara factual diterima, tapi oleh tingkat pendapatan relative. Milton Friedman mengajukan model pendapatan yang menentukan besar kecilnya konsumsi adalah tingkat pendapatan permanen. Tentu saja, selain tingkat pendapatan sebagai variable pengaruh utama, terdapat kemungkinan beberapa variable lain turut mempengaruhi besar kecil pengeluaran konsumsi masyarakat.
Dari sudut tinjauan kebaikan suai (goodness of fit) model ini cukup memadai. Model ini mengandung korelasi serial (otokorelasi) negative.
Fungsi tabungan dipengaruhi oleh empat factor atau variable. Keempat factor atau variable tersebut yaitu pendapatan, suku bunga, inflasi, dan penerimaan ekspor. Model ini tidak otokorelatif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar